Etika Islam dalam Menasehati

Muqaddimah

Etika Islam dalam menasehati mengajarkan kepada umatnya agar saling menasehati antar sesama. Sebab, salah satu ciri orang beriman, yaitu orang-orang yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah SWT berfiman:

وَالْعَصْرِۙ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ

“Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al Ashr: 3).

Ayat 3 dari surat ini dengan jelas menerangkan mengenai nasehat bahwa ia haruslah nasihat dalam kebenaran dan dengan kesabaran. Secara tidak tersurat ayat ini ingin menjelaskan mengenai etika nasihat baik sebagai subjek maupun objek. Secara umum etika itu adalah bahwa orang yang menasehati maupun yang dinasihati haruslah tujuannya adalah kebaikan dan dalam menasihati haruslah disertai dengan kesabaran.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنه قَالَ : ” بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ (روى البخاري (57) ، ومسلم (56)

Hadits ini menekankan bahwa Menasehati adalah bagian dari menjalankan ketaatan terhadap baiat kepada Rasulillah saw. Nasihat disetarakan dengan perintah shalat dan menunaikan zakat, sehingga kewajiban dalam melaksanakannya merupakan kewajiban bagi muslim.

Adapun etika atau adab dalam menasehati adalah sebagai berikut:

1. Menasehati Niat ikhlas karena Allah

Benar-benar Berniat untuk mengingatkan bukan untuk ‘menunjukkan keegoisan’ atau pamer. Jangan sampai menasihati dengan tujuan agar terlihat lebih baik atau untuk ‘menunjukkan diri’ lebih benar, lebih taqwa, dan lebih berilmu.

عَنْ أَبِيْ حَمْزَة أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) رَوَاهُ اْلبُخَارِيّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abu Hamzah –Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu– pembantu Rasulullah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: ”Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberikan standar jelas kepada kita ukuran iman itu adalah sejauh mana keinginan hati kita dalam mencintai saudara kita sesama muslim. Maka nasihat yang kita berikan motivasinya haruslah kebaikan atas saudara kita. Nasihat yang kita berikan semata-mata karena rasa cinta kita kepada saudara kita sesama muslim.

Selain itu menata niat dalam menasihati juga penting agar nasihat kita tidak jatuh kedalam riya, yang itu bisa menghancurkan pahala menasihat. Nasihat yang seharusnya menjadi ladang pahala malah justru menjerumuskan kita ke dalam kehinaan.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

 “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (hakikat) hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca juga : Merajut Perbedaan dalam harmonisme

2. Memberikan Nasihat Secara Privat

Bisa saja menasehati dihadapan orang membuat kita kehilangan ikhlas, karena saat nasehat itu ditampakkan dihadapan orang justa ia berpotensi besar menjadikan kita sombong dan merendahkan orang lain.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Berita Pondok Pesantren Darussalam.

Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Hujurat Ayat 11). Ada banyak riwayat dan cerita bagaimana para ulama salaf menasehati orang lain secara sirri atau rahasia. Sehingga kita temukan beberapa riwayat dari para ulama salaf betapa pentingnya menasehati secara rahasia tidak dihadapan orang banyak.

قال ابن رجب رحمه الله : ” كان السَّلفُ إذا أرادوا نصيحةَ أحدٍ ، وعظوه سراً ، حتّى قال بعضهم : مَنْ وعظ أخاه فيما بينه وبينَه فهي نصيحة ، ومن وعظه على رؤوس الناس فإنَّما وبخه. وقال الفضيل: المؤمن يَسْتُرُ ويَنْصَحُ، والفاجرُ يهتك ويُعيِّرُ” انتهى من “جامع العلوم والحكم” (1/ 236) .

Imam ibnu Rajab mengatakan bahwa para ulama salaf ketika ingin menasehati seseorang mereka menasehati secara sembunyi-sembunyi. Sebagian yang lain bahkan mengatakan; “barangsiapa ingin menasehati saudaranya kemudian hanya dilakukan empat mata, maka itulah nasihat, dan barangsiapa menasehatinya dihadapan orang-orang maka sesungguhnya itu merendahkannya.

Imam al Fudhail mengatakan, “Ciri seorang mukmin itu menutupi dan menasehati, sementara orang yang fajir (buruk perangainya) membuka aib saudaranya”. (Kitab Jami’ul Ulum wal Hikam, Juz 1 h. 236)

Baca Juga : Resolusi tahun 2022
قال المزني سمعت الشافعي يقول: من وعظ أخاه سرًا فقد نصحه وزانه، ومن وعظه علانيةً فقد فضحه وشانه. (حلية الأولياء (ج9 ص 140)

Berkata Almuzani aku mendengar Syafi’i berkata : barangsiapa yg menasehati saudaranya secara sirri (sembunyi) maka sungguh dia telah menasehatinya (sesuai pada tempatnya) dan menghiasinya (menjaga muru’ah), dan barangsiapa yg menasehati saudaranya secara terang-terangan maka sungguh dia telah membongkar (aibnya) dan  merusak (muru’ahnya).
)Hilyatul Auliya 9/140(

Imam Syafii berkata:

تَعَمَّدني بِنُصحِكَ في اِنفِرادي  #  وَجَنِّبني النَصيحَةَ في الجَماعَه

 فَإِنَّ النُصحَ بَينَ الناسِ نَوعٌ #  مِنَ التَوبيخِ لا أَرضى اِستِماعَه

 وَإِن خالَفتَني وَعَصِيتَ قَولي #  فَلا تَجزَع إِذا لَم تُعطَ طاعَه

— الإمام الشافعي

“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu Pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku. Maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti” (Diwan Asy Syafi’i, hal. 56).

من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية، ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن قبل منه فذاك،وإلا كان قد أدى الذي عليه

“Barangsiapa ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Takhrij As Sunnah Libni Abi Ashim, 1097).

3. Nasehat Menggunakan Bahasa Sopan

Bahkan ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk menasihati Fir’aun yang sombong dan melakukan kerusakan besar, keduanya diminta untuk berbicara lembut kepada pemimpin sombong itu.

Allah berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ليسَ المؤمنُ بالطَّعَّانِ ولا اللَّعَّانِ ولا الفاحِشِ ولا البذَيُّ

“Seorang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka bicara kotor dan suka bicara jorok” (HR. Tirmidzi no.1977,

Menasehati dengan penuh persahabatan

وقد قال الله تعالى : ( ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ) النحل/ 125.

4. Menasehati Sesuai dengan Ilmu yang Dimiliki

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya (Al Isra 36)

5. Senantiasa Tabayun

Kadang semangat kita dalam menasehati menyebabkan kita melupakan bahwa bisa saja kesalahan yang dilakukan orang lain adalah fitnah, sehingga perlu tabayyun.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian” (QS. Al-Hujurat: 6).

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang telah berdosa jika menyampaikan seluruh yang ia dengar” (HR. Muslim no.5).

6. Jangan Suuzhan! (Buruk Sangka)


اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (QS. Al-Hujuraat: 12).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث

“jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari no.5143, Muslim no. 2563).

Hendaknya kita mencari kemungkinan-kemungkinan baik bagi saudara kita sesama Muslim, selama masih memungkinkan. Muhammad bin Manazil rahimahullah berkata:

الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ ، وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ عَثَرَاتِ إِخْوَانِهِ

“Seorang mu’min itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya. Sedangkan seorang munafik itu mencari-cari kesalahan saudaranya” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.10437).

7. Mencari momentum yang tepat

Selain itu, kita juga perlu mencari waktu yang tepat untuk memberikan nasihat. Karena nasihat yang baik tapi dilakukan di waktu yang salah bisa jadi malah kurang baik.

قال ابن مسعود رضي الله عنه : ” إِنَّ لِهَذِهِ الْقُلُوبِ شَهْوَةً وَإِقْبَالًا ، وَإِنَّ لَهَا فَتْرَةً وَإِدْبَارًا ، فَخُذُوهَا عِنْدَ شَهْوَتِهَا وَإِقْبَالِهَا ، وَذَرُوهَا عِنْدَ فَتْرَتِهَا وَإِدْبَارِهَا “

Ibnu mas’ud berkata, “Hati ini memiliki kecenderungan dalam dorongan dan semangat, juga mengalami masa-masa malas dan berpaling. Gunakan (untuk kebaikan) saat dia terdorong dan semangat dan tinggalkan saat dia malas dan berpaling.” (Kitab Rabi’ul Abrar li Zamakhsyari, h. 158)

8. Jangan Memaksa Agar Nasehat Diterima

Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah mengatakan:

وَلَا تنصح على شَرط الْقبُول مِنْك فَإِن تعديت هَذِه الْوُجُوه فَأَنت ظَالِم لَا نَاصح وطالب طَاعَة وَملك لَا مؤدي حق أَمَانَة وأخوة وَلَيْسَ هَذَا حكم الْعقل وَلَا حكم الصداقة لَكِن حكم الْأَمِير مَعَ رَعيته وَالسَّيِّد مَعَ عبيده

“Jangan engkau menasehati orang dengan mempersyaratkan harus diterima nasehat tersebut darimu, jika engkau melakukan perbuatan berlebihan yang demikian, maka engkau adalah ORANG YANG ZHALIM bukan orang yang menasehati. Engkau juga orang yang menuntut ketaatan bak seorang raja, bukan orang yang ingin menunaikan amanah kebenaran dan persaudaraan.

Yang demikian juga bukanlah perlakuan orang berakal dan bukan perilaku kedermawanan, namun bagaikan perlakuan penguasa kepada rakyatnya atau majikan kepada budaknya” (Al Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, 45).

Maka yang benar, sampaikan nasehat. Jika diterima, itu yang diharapkan. Jika tidak diterima maka tidak mengapa. Perhatikan nasehat Imam Malik berikut,

الهيثم بن جميل: قلت لمالك ابن انس: الرجل يكون عالما بالسنة أيجادل عنها؟ قال: لا .. ولكن يُخبِر بالسنة فإن قُبِلتْ منه وإلا سكت

Al Haitsam bin Jamil mengatakan, saya pernah berkata kepada Imam Malik bin Anas: “seseorang yang alim (berilmu) terhadap sunnah Nabi, apakah boleh ia berdebat tentang As Sunnah?”. Imam Malik menjawab: “Jangan! Namun sampaikanlah tentang As Sunnah. Jika diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, ya sudah diam saja” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/94).

Maka dari itu Etika Islam dalam Menasehati merupakan bagian dari anjuran dan perintah dalam islam namun dalam melaksanakannya haruslah memperhatikan etika dan adab sehingga nasihat bisa benar-benar dilakukan secara optimal dan maksimal baik dari tujuan, fungsi dan balasan pahala yang didapatkan.

Postingan Terkait

Tinggalkan komentar