Origami

Tak sadar aku menjeda bacaan Al Quranku sejenak pada pertengahan  ﻉ untuk menuruti senyum malu tanpa permisi yang sedari tadi kutahan dan membuatku tersengal hingga menimbulkan sedikit gerakan ke depan dari kepala hingga separuh badanku. Mataku memandang kosong keramik masjid yang kemilau itu, tangan kananku memegang Al Quran dengan ibu jari yang masih kuletakkan pada ayat terakhir sebelum aku tersengal dan tangan kiriku yang menjadi tumpuan penyangga badanku ikut terdorong. Iya, tiba-tiba aku teringat sosok yang selalu mengisi bahan bakar untuk menyulutkan semangat mengajiku. Di tengah ramainya santri yang sedang tadarus Al Quran yang bagiku lebih terdengar seperti suara gerombolan lebah mendengung aku masih bisa asyik mengingat siapa yang membuatku jatuh hati padanya. Lelaki tinggi berkulit sawo matang itu selalu memancarkan aura ketenangan hingga siapapun yang memandangnya akan merasakan kesejukan. Sangat bersyukur mengenalnya.

Kilasan rasa bersalah dan bahagia bergantian tayang di pikiranku. Aku bahagia dihadiri sosok seasyik dia, disisi lain aku sangat takut jika kehadiranku mengganggu hafalannya. Alasanku selalu termotivasi adalah sederhana, seperti pada puisi Sapardi Djoko Damono, bahwa..

Memcintai angin harus menjadi suit

Mencintai air harus menjadi ricik

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintaimu harus menjelma aku

Senyumku bertambah lagi ketika mengingat kejadian ngaji tadi pagi. Berawal dari pesan Whatsapp darinya yang memastikanku untuk bangun tahajud. Notifikasi pesan darinya muncul bersamaan dengan buyi alarm yang kusetting tepat pukul 03.30 WIB. Sambil kulihat sekeliling kamar, hanya ada satu temanku yang telah bangun sholat malam. Bergegas aku mengambil wudlu, membersihkan diri, kemudian disusul bertahajud dan wirid. Sebelum tadarus aku mengecek pesan Whatsapp dan mendapati pesan darinya yang membuatku malu dan menerka-nerka apa yang akan dilakukannya saat mengaji nanti.

 “Nanti ngaji ba’da subuh duduk di barisan ke-3 dari depan ya, dekat satir (papan pembatas santri putra dan putri di kelas), sarungku hitam. Ngga papa, walau tak bisa saling menatap tapi setidaknya masih bisa duduk bersebelahan meski terhalang oleh satir” tak perlu kubalas, karena dia mengerti jika aku pasti akan melakukan perintahnya.

Singkat cerita seusai jamaah subuh kita bergegas menuju kelas dan tak melupakan perintahnya, aku lansung memosisikan diriku pada posisi yang diperintahnya tentunya sambil sangat gemetar. Papan satir masih menyisakan lubang sekitar 4-5 cm dari lantai sehingga masih bisa untuk mengintip bayangan santri putra melalui pantulan kemilaunya lantai kelas, sehingga aku bisa memastikan bayangan sarung hitam itu adalah dia sesuai janjinya. Setelah beberapa menit sembari menunggu ustadz datang belum ada aksi apa pun hingga sempat membuatku ragu bahwa yang ada dibalik satir itu adalah bukan dirinya. Seketika aku terbelaklak ketika muncul dari lubang itu sebatang cokelat yang ditemani selembar kertas bertuliskan “Semangat ngaji, cinta!” bisa ditebak bagaimana reaksiku, sambil kupastikan tak ada temanku yang melihat hal konyol ini. Tepat ketika aku akan menyembunyikan cokelat itu kedalam halaman terakhir kitab kuningku ustadz datang sehingga teman-temanku fokus pada kedatangan beliau.

***

Astaghfirullahaladzim.. malah nglantur.. A’udzu billahi minassyaitoni arrojimi bismillahi arrohmani arrrohimi inna haazalna kaana lakum jazaaa’aw wa kaana sa’yukum masykuuroo..” kemudian aku tersadar dan melanjutkan kembali ayat yang sedang kubaca yaitu mulai dari Q.S. Al-Insan (76) : 22 yang artinya “Inilah balasan untukmu, dan segala usahamu diterima dan diakui (Allah)”. Selang beberapa ayat iqomat maghrib berkumandang sehingga segera kuakhiri bacaanku kemudian kututup Al Quranku dan kuletakkan di jendela masjid dekat aku berdiri. Meskipun disediakan rak Al Quran namun beberapa santri yang menderas di masjid sebelum waktu sholat tiba akan meletakkannya di jendela dekat mereka duduk dan sholat. Seusainya, departemen ibadah yang akan merapikan kembali Al Quran di rak yang telah disediakan.

Dingin sekali..

Kulangkahkan kaki kiriku keluar masjid menuju kamarku di Gedung Program Bahasa Inggris lantai 2, angin berdesir membawa suhu dingin hingga menusuk kedalam tubuhku yang terbalut mukena tebal ini, tiupannya membuat bagian ujung mukenaku berkibat-kibat. Aku merasakan ketenangan, sambil kutengok Gedung Tahfidz Putra yang dari kejauhan selalu terlihat lengang seperti tak berpenghuni, namun jika didekati akan terdengar lantunan-lantunan indah ayat suci yang sedang dimurajaah penghafalnya termasuk Faiz, lelaki yang kumaksud sejak tadi. Melihat gedungnya bagiku sudah cukup untuk meluapkan rinduku padanya, ya karena memang kita tidak bisa saling jumpa kecuali tak sengaja mendapati di kampus.

Meskipun seorang santri dan hafidz, tetapi Faiz masih tetap aktif diberbagai kepanitiaan di kampusnya. Segala kegiatannya yang begitu padat tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk selalu menghafal dan menjaga hafalannya, mungkin itu salah satu dari begitu banyak kelebihan yang aku kagumi darinya.

***

Seusai kelas, aku dan teman-teman organisasiku menghadiri rapat di sebuah kedai kopi dekat kampus untuk membahas program kerja. Dengan begitu percaya diri aku memesan enam kopi yang sama di meja barista. Tiba-tiba..

“Ajra…” lelaki yang sedang membayar kopi disebelah kananku itu belum sempat kutengok tiba-tiba memanggilku.

Aku sangat terkejut dan berdebar malu karena itu adalah suara Faiz. Perlahan kuberanikan diri untuk menengoknya dan menjawab “iy–iyaaa..” aku tak tau lagi harus berbuat apa, aku salah tingkah, apalagi teringat kemarin pagi dia baru saja memberiku coklat bertuliskan cinta. Mungkin ini baru kedua kalinya aku bertemu dan menatapnya dengan jelas. Kali pertama aku bertemu dengannya ketika mengunjungi bazar buku di kampus dan dia mendapati pocket bertuliskan nama almamater Pondok Pesantren kita yang sedang kupegang untuk melihat list buku pesanan teman kamarku yang akan dibeli, lalu dia mengajakku berkenalan dan saling tukar nomor whatsapp. Ternyata dia satu kelas denganku. Semenjak itu hubungan kita sangat dekat meski hanya melalui pesan Whatsapp saja.

“Oiya, terima kasih cokelatnya yaa” sambil kutahan kikuk dan gemetarku akhirnya keluar juga kalimat itu.

“Iya sama-sama, aku duluan ya sudah ditunggu dosen.” setelah mengantongi kembalian dan struk pembayaran dia bergegas pergi menemui dosen.

“Iya hati-hati Iz…”

“Iya, assalamualaikum” sambil menarik gas motornya, Faiz memberi salam dan kujawab dengan lega. Kala itu aku tak siap untuk bertemu, mungkin kalau sudah tau akan bertemu aku sudah mempersiapkan segalanya, termasuk berbagai jawaban yang mungkin akan ditanyakannya.

***

  Aku melirik arloji putih yang melingkar di tangan kananku ternyata masih terlalu awal untuk mengaji, tangan kiriku membawa kitab kuning dan tak lupa juga buku yang akan di pinjam oleh Faiz. Karena tak mungkin bertemu langsung, jadi masih menggunakan trik yang sama yaitu menempati tempat duduk yang kita tentukan agar bisa duduk bersebelahan walaupun terhalang oleh satir. Di perjalanan menuju ruang kelas, kulihat sekeliling pintu masuk pesantren dan tak sengaja aku melihat Faiz yang baru saja pulang. Aku langsung menundukkan kepala begitu pun  Faiz. Kita merasakan hal yang sama, ketika berada di dalam pesantren untuk menatap pun sama sekali tidak berani.

 Ketika tiba di ruang kelas, aku langsung memosisikan diri sesuai janjiku pada Faiz yaitu di bagian terbelakang dekat satir. Di tengah-tengah mengaji aku memasukkan bukuku ke lubang satir, belum sampai separuhnya masuk sudah ditarik yang membuatku sedikit kaget. Lalu ada surat yang menuyusul keluar dari lubang satir itu yang bertuliskan “Terima kasih, cinta. Bukumu akan mewakili hadirmu pada kerinduanku.” Aku terima surat itu dan tak aku balas, cukup ku simpan saja pada lembar terakhir kitab kuningku agar suatu saat bisa dikenang.

***

Seperti biasa setelah jamaah isya santri Program Tahfidz  menyetorkan hafalan yang telah dihafalnya dalam satu hari. Ketakutan yang selama ini menghantui pikiranku benar terjadi. Berdasarkan cerita dari teman kamarnya hafalan Faiz menjadi kacau, saat murajaah di salah satu juz beberapa kali ada yang lupa. Aku semakin merasa berdosa. Perlahan aku menjauh darinya dan mengabaikan pesannya, aku memintanya untuk fokus hafalan masalah cinta belakangan.

Seorang penghafal tau bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sebuah struktur dari bahan-bahan yang mudah melayang, terlebih pada maksiat seberapapun bentuknya. Sebab bahan penyusun yang sesungguhnya bagaikan kertas—ingatan. Jika boleh meminjam perkataan Goenawan Mohammad bahwa ingatan tak pernah solid dan stabil, ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketia ia menampakkan diri di depan kita sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah, dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah. Kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembab atau menguning. Origami, di situ, mengundang dan mengandung perubahan.

*Penulis : Yesi Dyah, wanita kelahiran September 1999 merupakan penulis asal Banyumas sebagai penulis lepas di sebuah Majalah lokal yang sudah di museumkan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Saat ini penulis sedang merampungkan studinya di Universitas Jenderal Soedirman dan mengaji di Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh Purwokerto. Penulis merupakan pecinta budaya sehingga bergabung dalam majalah lokal yang banyak berperan dalam melestarikan kebudayaan. Beberapa karyanya telah di muat dalam buku antologi puisi “Wulan Ndadari”, “Pancarona”, “Sastra Pinggiran 2”, dan beberapa buku antologi lainnya.

Postingan Terkait

Tinggalkan komentar