“Teman” Baru

Cerita Bersambung Part 1

Gerimis kecil menyambutku keluar Masjid malam itu. Rintiknya mendukung kecamuk hatiku yang sudah lama menyerang. Tentang bayangnya yang selalu hadir dalam ingatan, memperjelas rasa yang dulu dia harapkan walau akhirnya pengingkaran menjadi pilihan. Ketika lelah hati dan jasmani sedang memuncak, aku biasa pulang lebih lama hingga masjid sepi oleh santri. Tersisa satu dua santri putri yang sedang tadarus membuatku semakin fokus mencerna situasi hati dan mengadu kepada Tuhan, mencari ketenangan. Saat perjalanan pulang menuju kamar aku melewati pohon kelengkeng bercabang dua tepat di depan perpustakaan yang konon ceritanya pada pohon bercabang dua biasa menjadi portal bagi berbagai macam makhluk halus. Tapi untungnya pencahayaan cukup terang dan berada di keramaian sehingga tidak menjadi seram meskipun banyak juga pohon nangka yang tumbuh besar. Percaya atau tidak, tante kunt* sangat suka bersarang di pohon nangka. Aku teringat semua yang diceritakan mbah kakung tentang bangsa lelembut. Untung saja ada santri putri yang duduk di pintu depan perpustakaan, jadi aku berani saja meski sudah sepi. Mukanya asing, datar, terlihat pendiam. Sepertinya dia sudah pernah mondok lama, terlihat sangat nyantri dengan sarung hitamnya yang bergambar wayang gunungan dengan baju putih yang menutupi hingga atas lututnya. Mungkin dia santri baru yang belum punya teman atau mungkin dia sendirian karena sedang menunggu temannya. Dia tidak membalas sapaanku, tapi tidak masalah yang penting dia sudah menurunkan rasa takutku.

Tak jarang rasa takut menyerang saat akan menaiki tangga menuju kamar (tangga Ruqoyah) ketika sudah lewat jam 10 malam atau ketika pondok sudah sepi. Penunggu tangga Ruqoyah sering menampakkan diri, nenek seram yang sepertinya tidak suka denganku. Mungkin karena aku sering berlari saat menaiki tangga sambil teriak-teriak, bukan karena takut melainkan hanya gurisan dengan temanku.

Lalu aku menaiki tangga menuju kamarku, Ruqoyah. Kamar Ruqoyah atau sering disebut kamar 7 baru dibuka kembali beberapa bulan yang lalu, awalnya hanya menjadi kamar tanpa penghuni yang penuh dengan tumpukan kasur dan sayup-sayup misteri didalamnya. Karena letaknya paling pojok dan terpisah dengan deretan kamar lainnya sehingga jarang dilalui. Tangga keluar-masuk gedung untuk kamar Ruqoyah ada sendiri yaitu tangga Ruqoyah yang berada di ujung paling barat gedung ini, sedangkan jalan keluar-masuk gedung untuk kamar 1 sampai 6 melewati tangga tengah yang berada di samping Aula 1. Sangat berbeda jauh dengan minggu-minggu pertama menempati kamar ini. Awalnya dingin, lembab, mistis, sekarang menjadi kamar paling nyaman diantara deretan kamar lainnya di Gedung Kitab (B). Bisa dibilang kamar paling VIP meski kamar-kamar VIP yang sesungguhnya adalah Gedung Bahasa (D).

Aku kembali ke kamar dengan hati yang sudah sedikit tenang. Tumpukan baju dan buku-buku yang berserakan di kasur mengganggu ketenanganku. Teman-teman kamar diam memandangiku, mungkin karena mataku yang sembab.

“Ira, tadi ada videocall dari Mas Zaid.” Fatimah membisikiku, aku tidak tau harus merespon apa. Aku sedang berusaha membuang jauh-jauh perasaanku yang sudah terlanjur dalam dan mengakar, tapi pernyataan Fatimah membuat hatiku yang ranum kembali mekar. Tidak, aku tidak boleh menyerahkan mahkota hatiku semakin ranum dan gugur untuk Mas Zaid. Mas Zaid adalah manusia baik yang sedang diperintah Gusti Allah untuk mengujiku.

“Sudah lah, aku terlalu lelah dengan keadaan yang aku buat pilu sendiri.” Kupasang senyum untuk menahan gejolak di hati dan mata yang kian memanas.

Kuraih ponsel yang menyala dengan banyak notifikasi panggilan masuk dan pesan Whatsapp, nama Mas Zaid membuatku berdebar ingin segera membuka pesannya. Tapi logika menahanku untuk tidak terlalu histeris meski hanya di dalam hati, ingat apa yang sudah membuatmu mati dalam hidup. Perasaan tidak bisa dibohongi, aku langsung membuka pesannya.

Assalamualaikum Humaira

Aku minta maaf ya, maaf jika kehadiranku hanya membuat luka. Aku tidak bermaksud seperti itu. Boleh ketemu besok di kampus?

Aku sangat rindu dengan Mas Zaid, tapi aku sedang dalam proses melupakan. Aku harus tegas, aku harus menolak untuk bertemu meski disini aku sering melihatnya dari kejauhan saat hendak mengaji.

Waalaikumussalam

Ngapunten Mas, besok saya ada janji dengan teman-teman kamar.

Aku tidak berbohong, memang besok aku ada janji makan di luar bersama teman-teman kamar walaupun jika aku meng-iya-kan ajakkan Mas Zaid sangat bisa.

Oke.. iya ngga papa Ra, lain waktu tolong sempatkan ya.

Nggih Mas insyaallah.

Dalam hati aku sangat bahagia bisa saling berbalas pesan dengannya, seperti ada rinduku yang sedikit tersampaikan. Tapi lagi-lagi aku harus menahan hatiku dari perasaan berbunga-bunga, karena semakin rimbun bunganya maka semakin banyak juga yang gugur.

Selesainya aku membereskan baju-baju dan buku-buku yang memenuhi kasur, dengan hati yang masih tidak selaras dengan pikiran aku paksa keluar koridor untuk mengerjakan tugas. Kusiapkan karpet, bantal, meja belajar, laptop, dan beberapa buku filsafat. Aku memilih mengerjakan tugas di koridor karena jaringan wifi tidak sampai ke dalam kamar, selain itu aku lebih suka sendirian. Aku biasa mengerjakan tugas hingga pagi.

Baru jam sebelas tapi semua sudah tertidur pulas mungkin karena kegiatan pondok hari ini sangat padat sehingga mereka kelelahan. Kini tersisa aku sendirian. Kulihat ke arah timur ada perempuan tadi sedang duduk di koridor kamar 6. Aku tidak begitu jelas melihatnya karena jarak kamar kami lumayan jauh terpisahkan oleh tempat jemuran dan kamar mandi umum gedung kitab lantai dua. Aku mengabaikannya, dia pendiam, tidak mungkin dia mau mendekatiku atau bahkan hanya untuk sekedar menyapa. Tadi saja dia tidak membalas sapaanku, aku hanya fokus dengan tugasku. Ketika hendak mengambil buku filsafat yang terjatuh dari meja belajar, aku terkejut karena dia sudah duduk di pintu koridor yang memisahkan kamarku dengan jemuran dan kamar lain. Wajahnya pucat, pandangannya tajam, tidak berbicara, bahasa tubuhnya berbeda. Aku baru menyadari, dia bukan santri biasa. Santri ghoib. Seketika sekujur tubuhku merinding. Tapi aku tidak berani berlari, aku hanya berkata dalam hati agar dia tidak menggangguku. Aku langsung membereskan semua peralatanku lalu masuk kamar dan mengambil wudlu. Aku masih bertanya-tanya mengapa dia menampakkan diri, seperti ada yang ingin disampaikan.

Ketika sudah jam satu malam, pasti ada hal aneh yang terjadi. “Penghuni” kamar tidak suka ketika ada yang masih beraktivitas diatas jam satu malam, pasti diingatkan dengan sesuatu yang membuat kami takut seperti ada barang yang tiba-tiba jatuh. Sebenarnya mereka berniat baik mengingatkan kita untuk segera tidur agar dapat bangun tahajud dan jamaah salat subuh. Konon yang sering melakukan itu adalah Pengurus Keamanan dari bangsa “mereka”. Ternyata santri ghoib sama seperti santri biasa, ada pengurusnya, ada santri yang mbeling, ada yang manut, dan sebagainya. Mereka suka menempati shaf yang tidak rapat ketika salat jamaah di masjid, tidak jarang mereka mengganggu jamaah agar tidak khusyuk. Maimunah, temanku yang dari Jember pernah mengalami kejadian itu. Saat hendak salam kedua dia melihat shaf kosong disampingnya sudah terisi oleh santri cantik bermuka datar. Sontak membuatnya terkejut lalu menghilang.

Kedatangan “perempuan” tadi membuatku berfikir keras hingga sulit tidur, untuk mengalihkan pikiran aku mengawali tidur dengan membaca novel yang berjudul Wigati karya Khilma Anis. Novel tersebut menceritakan tentang kehidupan pesantren dan keris, aku suka dengan ceritanya karena mengandung unsur budaya, keluarga, dan percintaan. Selang beberapa menit aku tertidur.  Perempuan tadi masuk ke dalam mimpiku dan memperkenalkan diri.

Humaira, namaku Hindun. Menetap disini sejak awal pondok pesantren ini dibangun, aku tinggal di langit-langit kamarmu bersama teman-teman lainnya. Aku melihat ada yang istimewa dari dirimu sehingga aku bersedia hadir mendatangimu. Aku mau membantumu, ada banyak rahasia dan masalah yang tidak kamu ketahui dibalik masalahmu.

Aku langsung terbangun dari mimpiku, mencerna kata-kata permpuan itu dalam mimpi. Aku tidak mengerti apakah mimpi itu benar atau tidak. Aku terus terbayang dengan kalimat terakhirnya, masalah lain apa yang dimaksud?

Perempuan itu menampakkan diri dan tersenyum sambil mengangguk mengisyaratkan bahwa kami sudah berteman.

BERSAMBUNG…

Penulis : Yesi Dyah

Postingan Terkait

Tinggalkan komentar